PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam islam halal dan haram telah
ditentukan dengan jelas, banyak sekali ayat al-qur’an dan al-hadis yang
membahas hal tersebut. Seperti firman-Nya dalam al-Quran yang artinya “Makanlah
makanan yang halal lagi baik”, demikianlah perintah Allah kepada umat Islam
seperti tertera dalam alQur’an dalam surat al-Maaidah ayat 88. Dengan demikian,
mengkonsumsi makanan yang halal merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Akan
tetapi, dalam era global sekarang ini penetapan kehalalan suatu produk pangan
tidaklah semudah pada waktu teknologi beum berkembang. Dengan demikian,
diperlukan adanya suatu jaminan dan kepastian akan kehalalan produk-produk
pangan yang dikonsumsi oleh umat islam yang merupakan aian terbesar penduduk
Indonesia (lebih dari 85%).
Jaminan kehalalan suatu produk
pangan dapat diwujudkan diantaranya dalam bentuk sertfikat halal yang menyertai
suatu produk pangan, yang dengan sertifikat tersebut si produsen dapat
mencantumkan logo halal pada kemasannya.
Masalahnya, bagaimana menjamin bahwa
sertifikat halal tersebut telah memenui kaidah syari’ah yang ditetapkan dalam
penetapan kehalalan suatu produk pangan, dalam hal ini akan berkaitan dengan
kompetensi lembaga yang mengeluarkan sertifikat, standar halal yang digunakan,
personil yang terlibat dalam sertifikasi dan auditing, dan yang tak kalah
pentingnya adalah mekanisme sertifiasi halal itu sendiri. Dengan demikian,
diperlukan adanya suatu standard an system yang dapat menjamin kebenaran hasil
sertifikasi halal.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari halal dan haram dalam perspektif islam?
b. Bagaimana konsep halal dan haram dalam islam?
c. Bagaimana sertifikasi halal dan undang-undangnya di indonesia?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui dan memahami definisi dari halal dan haram.
b. Untuk memahami komsep dari halal dan haram.
c. Untuk mengetahui sertifikasi halal dan undang-undang diindonesia beserta
praktinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HALAL DAN HARAM
Halal adalah segala sesuatu yang
diperbolehkan oleh syari’at untuk di konsumsi, Terutama dalam hal makanan dan
minuman. Dalam firman Allah swt surat al-Baqarah ayat 168:
“Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terbaik dibumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.”[1]
Dalam ayat di atas telah diterangkan
bahwa orang-orang islam di syariatkan untuk makan makanan yang halal dan baik.
Makanan yang halal dan baik disini adalah makanan yang di perbolehkan oleh
syarat baik dari segi zatnya, cara memperolenya dan cara mengolahnya. Adapun
makanan yang baik adalah maknan yang daik bagi kesehatanya dan tidak
membahayakan dirinya.
Sedangkan haram adalah segala
sesuatu yang di larang oleh syariat untuk dikonsumsi, dan apabila tetap
dikonsumsi akan mendapatkan dosa kecuali dalam keadaan terpaksa, serta banyak
sekali madhratnya dari pada hikmanya, sebagai contoh mengkonsumsi darah yang
mengalir ini di haramkan karena itu kotor dan dihindari oleh manusia yang
sehat, disampaing itu ada dugaan bahwa darah tersebut dapat menimbulkan bahaya
sebagaimana halnya bangkai.
Maknan dikatakan halal paling tidak
harus memenuhi tiga kriteria, yaitu halal zatnya, halal cara memperolenya,
dan halal cara pengolahannya.[2]
a. Halal zatnya
Makanan yang halal menurut zatnya
adalah makanan yang dari dasarnya halal untuk di konsumsi. Dan telah di
tetapkan kehalalannya dalam kitab suci al-qur’an dan al-hadist. Centoh
makanan yang halal atas zatnya adalah daging sapi, ayam, kambing,
buah-buahan seperti apel, kurma, anggur, Dan lain sebagainya.
b. Halal cara memperolenya
Yaitu makanan yang di peroleh dengan
cara yang baik dan sah, Makanan akan menjadi haram apabila cara memperolehnya
dengan jalan yang batil karena itu bisa merugikan orang lain dan dilarang oleh
syariat. Contoh dari cara memperoleh yang baik adalah dengan cara membeli,
bertani, hadiah, dan lain sebagainya.
Adapun dari makanan yang diperoleh
dari makanan yang batil adalah dengan cara mencuri, merampok, menyamun, dan
lain sebagainya.
c. Halal cara pengolahanya
Yaitu makanan yang semula halal dan
akan menjadi haram apabila cara pengolahanya tidak sesuai dengan syeriat agama.
Banyak sekali makanan yang asalnya halal tetapi karena pengolahanya yang tidak
benar menyebabkan makanan itu mmenjadi haram. Contohnya anggur, makanan ini
halal tetapi karena telah diolah menjadi minuman keras maka minuman ini menjadi
haram.
Dalam firman Allah surat Al-A’raf,
ayat 157 yaitu:
“Dan (Allah) menghalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”.[3]
B. KONSEP HALAL DAN HARAM
Prinsip pertama pertama yang
ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan
mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nas yang sah dan tegas
dari syari' (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul)
yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nas yang sah –misalnya karena ada
sebagian Hadis lemah-- atau tidak ada nas yang tegas (sharih) yang menunjukkan
haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.[4] Ulama-ulama
Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti
tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat al-Quran yang antara lain:
"Belum tahukah kamu, bahwa
sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan
apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya
yang nampak maupun yang tidak nampak." (Luqman: 20)
Semua hal yang menyangkut dan
berhubungan dengan harta benda hendaknya dilihat dan dihukumi dengan kriteria
halal dan haram. Semua praktek-praktek jahat dan kecurangan yang berhubungan
dengan transaksi harta benda dan kekayaan dilarang. Semua larangan
itu berdasarkan satu prinsip: jangan ada ketidakadilan dan jangan ada penipuan.
Setiap orang bisa melihat aplikasi dari prinsip Al Quran dalam sabda dan
perilaku Rasulullah serta para sahabatnya.
Perbedaan antara halal dan haram
bukan saja mengharuskan tujuannya mesti benar, namun sarana untuk mencapai
tujuan itu juga haruslah baik. Perintah Al Quran untuk mencari nafkah setelah
melakukan ibadah ritual, mengimpliksikan bahwa seseorang hendaknya mengikuti
perilaku yang diperkenankan dan dihalalkan dalam mendapatkan penghasilan.
Penyucian hati yang dihasilkan oleh ibadah ritual juga hendaknya menyucikan
niat dan metode mereka dalam mencari nafkah dengan cara yang halal.
Dalam islam disyaratkan, untuk bisa
meraih harta yang halal harus linear antara niat, proses, dan sarana yang
diunakan. Dalam arti, sekalipun didahului dengan niat (motif) yang baik, akan
ttetapijika proses dan sarana yang dipakai tidak dibenarkan oleh islam, maka niscaya
harta yang dihasilkan tidak akan barokah, dan haram hukumnya. Oleh karena itu
pencucian hati yang dihasilkan melalui ibadah ritual seseorang, hendaknya bisa
mensucikan niat dan metode (cara) mereka dalam mencari nafkah dan
penghasilan.[5]
Lingkaran Halal dan Haram
Prinsip etika dalam suatu bisnis
yang wajib dilaksanakan oleh setiap produsen muslim baik individu maupun
komunitas adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melawati
batas.
Walaupun daerah halal itu luas,
tetapi mayoritas jiwa manusia yang ambisius merasa kurang puas dengan hal itu
walaupun banyak jumlahnya. Banyak ditemukan jiwa manusia yang tergiur kepada
sesuatu yang haram. Mereka yang mengatakan bahwa “yang haram saja susah apalagi
yang halal” perkataan ini adalah perkataan yang hanya ingin mendapatkan sesuatu
secara mudah, tidak mau bekerja keras dan hanya ingin memperoleh keuntungan
saja tidak mempedulikan norma dan etika agama yang ada. Dengan melanggar
hukum-hukum Allah. QS. Al-Baqarah: 229
Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229)
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa
hal yang diharamkan untuk dikonsumsi baik yang merusak akidah, akhlak dan jiwa
manusia. Seorang muslim tidak boleh menanam apa-apa yang membahayakan dan
apa-apa yang diharamkan, seorang muslim juga dilarang memproduksi barang-barang
haram baik haram dikenakan ataupun haram dikoleksi dan diantara produk yang
dilarang keras beredar ialah produk yang merusak akidah, etika dan moral
manusia.
Adapun bisnis yang diharamkan dalam
Islam Adalah:
1. Investasi harta dengan cara membahayakan masyarakat.
Islam melarang produksi yang hanya
merealisasikan kepentingan pribadi dan membahayakan kepentingan umum. Produksi
dan keuntungan dengan cara eksploitasi, tipu daya, eksploitasi kebutuhan dan
menimbulkan bahaya bagi kaum miskin dengan cara apapun diharamkan.
2. Riba
Islam dan agama-agama samawi lainnya
mengharamkan riba, karena dalam riba terdapat hal yang membahayakan masyarakat
dan ekonomi. Resiko ekonomi menunjukkan bahwa riba merupakan mediasi yang tidak
cocok bagi kegiatan ekonomi berdasar beberapa alasan:
Ø Bunga yang dihasilkan oleh pelaku riba tidak
dihasilkan dengan cara produksi, tapi diambil dari harta orang lain atau dari
sumber masyarakat tanpa didahului oleh proses produksi.
Ø Bunga yang dihasilkan akan menyebabkan kemalasan dan
nilai tambahnya tanpa usaha dan kerja keras.
Ø Riba akan menyebabkan pertambahan nilai inflasi di
masyarakat.
Ø Riba memberatkan beban peminjam manakala ia tidak
mampu melunasi dikarenakan berlipatnya nilai bunga.
3. Jual beli tidak jelas ((الغرر.
Gharar merupakan jenis benda yang
ditransaksikan tanpa ada kejelasan ukuran dan sifat ketika transaksi
berlangsung. Kerelaan sebagai unsur penting dalam jual beli tidak terdapat
dalam transaksi ini. Bentuk transaksi ini termasuk transaksi yang mengandung
unsur batil.
4. Pencurian.
Allah menetapkan hukuman potong
tangan karena perbuatan mencuri merupakan bentuk pengkhianatan. Allah
berfirman:
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (Al Maa-idah: 38).
5. Perampasan.
Menguasai harta orang lain secara
ilegal. Kaum muslimin telah sepakat bahwa perbuatan ini adalah haram, karena
memakan hasil rampasan dikategorikan sebagai memakan harta dengan cara yang
batil sesuai dengan firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (An
Nisaa’: 29)
6. Upah pekerjaan yang haram dilaksanakan, seperti mas kawin zina dan tips
bagi dukun.
Mencari harta dengan cara menjual
minuman keras, bangkai, babi dan berhala tidak dihalalkan.
Nabi saw tidak hanya mengharamkan
minum khamr, sedikit atau banyak, tetapi beliau juga mengharamkan memperjualbelikan
khamr meskipun terhadap non muslim.[6]
7. Suap
Adalah pemberian sesuatu kepada
hakim atau orang lain agar memutuskan hukum sesuai yang diinginkan. Hukum suap
haram. Pengharaman Islam ini ditujukan untuk menjaga masyarakat dari timbulnya
kerusakan dan penganiayaan hukum tanpa hak atau untuk menegakkan keadilan. Kaum
muslim telah satu kata tentang larangan suap. Perkara ini sama dengan mengambil
harta dengan cara batil
8. Menimbun/spekulan.
Menimbun adalah menahan komoditas
yang dibutuhakan masyarakat dari sirkulasi pasar dalam satu masa tertentu agar
harganya naik. Setelah naik, barang tersebut dijual di pasaran. Penimbunan
merupakan bagian perbuatan haram.
9. Perjudian.
Yaitu setiap permainan antara dua
kelompok yang akan munculkan kerugian di satu pihak dan keuntungan dipihak
lain, baik berdasar kesepakatan atau kemujuran. Perbuatan ini digolongkan al
Maisir seperti kesepakatan para ulama.
10. Penipuan.
Islam mengharamkan aseluruh macam
penipuan, baik dalam masalah jual beli, maupun dalam seluruh macam mu’amalah.[7] Sesorang
d tuntut untuk bertingkah laku jujur dalam smua urusanya, karena dengan
kejujuran itulah yang akan membawa ia pada keselamatan dunia dan akhirat. Dan
keiklasan dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada seluruh urusan
duniawi.
C. SERTIFIKASI HALAL
Penentuan halal tidaknya suatu
produk makanan dan minuman pada era global ini tidaklah mudah bahkan mempunyai
tingkat kesulitan yang tinggi ini dikarenakan banyaknya bahan baku dan bahan
tambahan yang menggunakan bahan-bahan dari non muslim atau negara barat. Ada
beberapa hal yang dapat dilakuakn untuk menjamin hak mendapatkan makanan dan
minuman yang halal, pertama adanya jaminan undang-undang yang melindungi.
Masalah kedua, mengetahui komposisi dan asal-usul serta cara memproduksi
makanan dan minuamn. Ketiga yaitu pihak yang berwenang bekerja keras menyusun
daftar bahan baku dan bahan tambahan yang sudah diperiksa kehalalannya.[8]
Beberapa tujuan diberlakukannya
liberalisasi dan sertifikasi Halal
1. Jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta dan sekitar 87% beragama islam
merupakan potensi pasar yang cukup besar bagi produk-produk halal. Apabila
produk dalam negeri belum mampu menerapkan sistem produksi halal, maka akan
dimanfaatkan oleh produk negara lain yang telah menerapkan sistem produksi
halal.
2. Karena belum memasyarakatkan sistem produksi halal di dalam negeri, maka
produk impor seperti makanan minuman obat kosmetika dan produk halal lainnya
akan menjadi ancaman bagi daya saing produk dalam negeri , baik di pasar lokal,
nasional maupun pasar bebas.
3. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingya mengkonsumsi dan
menggunakan produk halal merupakan tantangan yang harus direspon oleh
pemerintah dan pelaku usaha indonesia.
4. Disamping itu dengan mulai diberlakukannya era persaingan bebas seperti
AFTA pada tahun 2003 dan telah di cantumkannya ketentuan halal dalam KODEX yang
didukung oleh WHO dan WTO maka produk-produk nasional harus meningkatkan daya
saingnya pada pasar dalam negeri maupun luar negeri (internasional).
5. Dari sekitar 1,5 juta produsen makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika
dann produk lainya, kurang dari seribu yang menggunakan sertifikasi halal. Hal
tersebut disebabkan karena belum siapnya pemerintah dalam menyediakan fasilitas
yang sesuaidengan tuntutan pasar. Sebagai akibat dari kondisi tersebut terjadi
kecenderungan bagi para pelaku usaha untuk mendirikan pabrik dimalaysia dan
singapura hanya sekedar untuk memperoleh sertifikat dan label halal dari pemerintah
yang bersangkutan. Walaupun untuk mendapat hal tersebut dari singapura
rata-rata pelaku usaha harus membayar 500 dolar lebih, dan untuk mendapat label
harus membayar 2-3 sen dolar persaset/kemasan/bungkus[9]
Berdasarkan perjalanan sejarah
pemberlakuan sertfikasi halal di Indonesia LPPOM MUI sebagai lembaga yang
memelopori pemberian sertifikat halal yang pertama dan masih dianggap
satu-satunya di Indonesia.[10]
Lembaga Pengkajian Pangan
Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat LPPOM MUI
adalah lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan
memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan
kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi agama
Islam yakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi bagi umat Muslim
khususnya di wilayah Indonesia, selain itu memberikan rekomendasi, merumuskan
ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.
Sebagai lembaga otonom, bentukan
MUI, LPPOM MUI tidak berjalan sendiri. Keduanya memiliki kaitan erat dalam
mengeluarkan keputusan. Sertifikat Halal merupakan langkah yang berhasil
dijalankan sampai sekarang. Di dalamnya tertulis fatwa MUI yang menyatakan
kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam dan menjadi syarat
pencantuman label halal dalam setiap produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika.
Syarat kehalalan produk tersebut
meliputi:
Ø Tidak mengandung babi dan bahan bahan yang berasal
dari babi
Ø Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti;
bahan yang berasal dari organ manusia, darah, dan kotoran-kotoran.
Ø Semua bahan yang berasal dari hewan yang disembelih
dengan syariat Islam.
Ø Semua tempat penyimpanan tempat penjualan pengolahan
dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi; jika pernah digunakan
untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu dibersihkan
dengan tata cara yang diatur menurut syariat.
Setiap produsen yang mengajukan
sertifikasi halal bagi produknya harus melampirkan spesifikasi dan Sertifikat
Halal bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong serta bahan aliran proses.
Surat keterangan itu bisa dari MUI daerah (produk lokal) atau lembaga Islam
yang diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan
turunannya.
Sertifikat halal berlaku selama dua
tahun, sedangkan untuk daging yang diekspor sertifikat diberikan pada setiap
pengapalan. Dalam rentang waktu tersebut, produsen harus bisa menjamin
kehalalan produknya. Proses penjaminannya dengan cara pengangkatan Auditor
Halal Internal untuk memeriksa dan mengevaluasi Sistem Jaminan Halal (Halal
Assurance System) di dalam perusahaan. Auditor Halal tersebut disyaratkan harus
beragama Islam dan berasal dari bagian terkait dengan produksi halal. Hasil
audit oleh auditor ini dilaporkan kepada LPPOM MUI secara periodik (enam bulan
sekali) dan bila diperlukan LPPOM MUI melakukan inspeksi mendadak dengan
membawa surat tugas.[11]
Kiprah Internasional Selain
mengadakan sertifikasi halal di tingkat nasional, LPPOM MUI juga mengadakan
kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal di berbagai belahan dunia melalui
Dewan Halal Dunia (World Halal Council, WHC) yang dirintis sejak tanggal 6
Desember 1999. Tema besar yang diangkat dewan ini adalah masalah standarisasi
halal termasuk prosedur maupun sertifikasinya, mengingat organisasi yang
mengeluarkan sertifikat di berbagai negara memiliki prosedur dan standar yang
berbeda-beda. Sebagai langkah awal, WHC menerapkan sertifikasi dan standarisasi
halal yang digunakan di Indonesia. WHC berniat mengajukan standar halal kepada
lembaga internasional WTO (World Trade Organization). Kantor WHC berkedudukan
di Jakarta.
D. Perundangan Terkait Standarisasi Halal
1. UU No. 7/1996 tentang Pangan
Di dalam UU No. 7 tahun 1996
beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam
Bab Label dan Iklan Pangan pasal 30 dan 34.
Bunyi pasal dan penjelasan pasal
tersebut adalah Pasal 30
1) Setiap orang yang memproduksi
atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, didalam dan atau di kemasan
pangan.
2) Label, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai:
a) Nama produk
b) Daftar bahan yang digunakan
c) Berat bersih atau isi bersih
d) Nama dan alamat pihak yang
memproduksi
e) Keterangan tentang halal; dan
f) Tanggal, bulan dan tahun
kadaluwarsa
Penjelasan pasal 30 ayat 2 (e):
keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label
pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan
dan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan
bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam.
Pasal 34
1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan
tertentu, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan persyaratan
agama atau kepercayaan tersebut.
Penjelasan: dalam ketentuan ini,
benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan pangan tidak hanya
dapat dibuktikan dari segi bahan baku pangan, tetapi mencakup pula proses
pembuatannya.
2) PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan
Pasal 3 ayat 2
Label berisikan keterangan
sekurang-kurangnya:
a. Nama produk
b. Daftar bahan yang digunakan
c. Nama dan alamt pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke wilayah
Indonesia
d. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa
Pasal 10
1. Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas kedalam
wilayah Indonesia untuk memperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut
halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan
wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label.
2. Pernyataan tentang halal sebagaimana dimaksud pada ayat 1, merupakan bagian
yang tidak terpisah dari label.
Pasal 11
1. Untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud dalam pasal
10 ayat 1, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas
kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih
dahulu pangan tersebutpada lembaga pemeriksa yang telah terakreditasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan berdasarkan
pedoman dan tata cara yang ditetapkan olen menteri agama dengan memperhatikan
pertimbangan dan saran lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang
tersebut.
3) Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas kepmenkes No.
8/Menkes/SK/I.1996 tentang pencantuman tulisan “Halal” pada label makanan.
1. Pasal 8
Produsen atau importir yang akan
mengajukan permohonan pencatuman tulisan halal wajib siap diperiksa ileh
petugas tim gabungan dari Majelis Ulama Indonesia dan Direktoran Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk oleh Direktur Jendral.
2. Pasal 10
a. Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal 8 dan hasil pengujian
laboratorium sebagaimana dimaksud pasal 9 dilakuan evaluasi oleh tim ahli MUI
b. Hasil evaluasi sebagaiman dimaksud ayat 1 disampaikan kepada komisi fatwa
MUI untuk memperoleh fatwa
c. Fatwa MUI sebagaiamana dimaksud ayat 2 berupa pemberian sertifikat hala
bagi yang memenuhi syarat atau berupa penolakan.
3. Pasal 11
Persetuuan pencantuman tulisan
“halal” diberikan berdasarkan fatwa dari komisi fatwa MUI
4. Pasal 12
a. Berdasrakan fatwa MUI, Direktur Jenderal memberikan:
1. Persetujuan bagi yang memperoleh sertifikat halal
2. Penolakan bagi yang tudak memperoleh sertifikat halal
b. Penolakan sebagimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b diberikan secara
tertulis kepada pemohon disertai alasan.
Pada prakteknya, jika ada suatu
perusahaan ingin mencantumkan label halal ( sekarang permohonannya ke badan
POM), maka akan dilakukan pemeriksaan ke perusahaan tersebut ( setelah
melengkapi persyaratan yang diminta ) oleh tim gabunag dari bdan POM, LPPOM MUI
dan depag. Untuk perusahaan lain yang tidak memerlukan sertifikat halal maka
pengajuan sertifikat halal langsung ke MUI.[12]
Study Kasus Ajinomoto
Pada tahun 2001, masyarakat dibuat
heboh akibat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mengharamkan Ajinomoto.
Sebab, berdasarkan penelitian MUI, bahan baku Ajinomoto ditengarai dicampur
dengan lemak babi. Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, langsung tersentak. Sebelum ini, sebenarnya Ajinomoto sudah mengantungi
sertifikat ‘halal’ dari MUI. Namun itu hanya berlaku dua tahun, dan berakhir
sejak Juni 2000. Setelah tanggal itu, pihak Ajinomoto tak melakukan pemeriksaan
lagi ke MUI. Mereka malah mengubah bahan bakunya, yang ditengarai MUI
mengandung ekstrak lemak babi.
PT Ajinomoto Indonesia membantah
bahwa produk akhir MSG Ajinomoto mengandung unsur “porcine”. Bantahan PT
Ajinomoto itu dikemukakan dalam siaran pers yang ditandatangani Department
Manager PT Ajinomoto Indonesia, Tjokorda Bagus Sudarta. Sebelumnya Tjokorda
melalui media masa mengakui menggunakan bactosoytone yang diekstrasi dari
daging babi untuk menggantikan polypeptone yang biasa diekstrasi dari daging
sapi. Diungkapkan juga olehnya, alasan menggunakan bactosoytone itu karena
lebih ekonomis, namun penggunaan ekstrasi daging babi itu hanyalah sebagai
medium dan sebenarnya tidak berhubungan dengan produk akhir.
Dalam siaran persnya, Tjokorda
mengatakan, untuk menghilangkan keresahan dan menjaga ketenangan masyarakat
dalam mengkonsumsi produk Ajinomoto, maka pihaknya akan menarik secara serentak
di seluruh Indonesia produk MSG Ajinomoto yang telah beredar dalam kurun waktu
dua hingga tiga minggu terhitung mulai 3 Januari 2001. Jumlahnya sekitar 10
ribu ton. Tjokorda mengatakan, setelah proses penarikan selesai dilaksanakan
maka pemasaran produk baru MSG Ajinomoto akan menggunakan unsur “mameno” dalam
proses produksi setelah mendapat sertifikat halal dari LP POM MUI. Dalam siaran
pers itu juga disebutkan, PT Ajinomoto Indonesia menyampaikan permohonan maaf
kepada seluruh masyarakat Indonesia. Ia mengatakan, seluruh produk Ajinomoto
harus ditarik dari peredaran dan stok baru hanya boleh dipasarkan setelah
mendapat sertifikat halal yang baru dari MUI. Akibat kasus ini, PT Ajinomoto
terpaksa harus memberi ganti-rugi pedagang dengan total nilai sebesar Rp 55
milyar.[13]
Analisis Kasus Ajinomoto
Bactosoytone sebagai media
pertumbuhan bakteri, dibuat tersendiri (oleh Difco Company di AS), dengan cara
hidrolisis-enzimatik dari protein kedelai (Soyprotein). Dalam bahasa yang
sederhana, protein-kedelai dipecah dengan bantuan enzim sehingga menghasilkan
peptida rantai pendek (pepton) yang dinamakan Bactosoytone itu. Enzim yang
dipakai pada proses hidrolisis inilah yang disebut Porcine, dan enzim inilah
yang diisolasi dari pankreas-babi.
Dari penjelasan diatas sudah jelas
bahwasanya salah satu bahan yang digunakan dalam pembuatan MSG (Monosodium
Glutamat) merupakan berasal dari babi. Akan tetapi mengapa produsen tetap
menggunakannya walau dengan alasan untuk penghematan. Sudah jelas PT. Ajinomoto
tersebut telah melanggar UU no, 8 tahun 1999 tentang pelnggaran konsumen, UU
no. 7 tahun 1996 tentang pangan, UU no. 3 tahun 1992 tentang kesehatan serta PP
no. 69 tahun 1999 tentang label dan Iklan Pangan. Selain itu karena yang
mengkonsumsi adalah mayoritas mamsyarakat yang beragama Islam, maka PT.
Ajonomoto tersebut banyak melanggar peraturan dalam ayat suci al-Qur’an. Suatu
hal yang tepat jika PT. Ajinomoto tersebut mengganti kerugian yang
bermilyar-milyar karena keteledorannya.
Solusi dari Kasus tersebut adalah:
1. Diperlukan peraturan yang tegas.
Dalam undang-undang pangan dan
peraturan perlindungan konsumen masalah halal hanya diatur dalam masalah
pelabelan, yaitu barangsiapa yang mencantumkan label halal maka produsen
tersebut harus bertanggungjawab akan kebenaran pernyataan label tersebut.
Mengingat sebagian besar penduduk
Indonesia adalah muslim, maka adalah sangat wajar apabila diharuskan semua
bahan pangan yag diproduksi dan diedarkan di Indonesia adalah makanan dan
minuman yang halal, kecuali makanan dan minuman yang ditunjukan bagi non
muslim. Nah, makanan dan minuman bagi non muslim inilah yang perlu dilabel
dengan jelas, missal “haram bagi umat Islam”. Dengan demikian, hanya sedikit
makanan dan minuman yang dilabel. Dengan cara ini maka akan sangat memudahkan
bagi konsumen muslim untuk memilih, karena sudah dijamin bahwa semua yang ada
di pasaran adalah halal, kecuali yang berlabel tidak halal.
2. Produsen harus memiliki system jaminan halal dan lebuh berhati-hati
Kerugian yang diderita akibat diharamannya suatu produk pangan seharusnya bisa
dicegah apabila suatu produsen memiliki system jaminan pangan halal. System ini
identik dengan system jaminan mutu yang diterapkan oleh standar ISO misalnya.
Dalam system ini, komitmen produsen dinyatakan dalam kebijakan mutu, kemudian
dijabarkan lebih lanjut dalam manual mutu dan SOP (Standart Operating
Procedure).
Setiap produsen juga harus memiliki
halal guidline yang berisi petunjuk apa itu haram, apa saja bahan yang haram
secara umum dan secara khusus, dan bentuk database agar memudahkan bagi siapa
saja untuk memilih bahan apa saja yang halal.
3. Konsumen harus lebih kritis.
Telah dilaporkan bahwa tahun 2001
baru ada sekitar 10% produk pangan saja yang sudah berlabel halal. Sebagai
konsumen Jika tidak yakin dengan kehalalannya maka jangan dibeli dan
dikonsumsi. Konsumen harus lebih peduli dengan makanan dan minumannya karena
ternyata masih banyak sekali makanan dan minuman haram atau subhat yang beredar
di sekitar kita. Selain itu, konsumen muslim juga harus menuntut haknya kepada
pemerintah, agar bahan pangan, makanan dan minuman yang beredar di Indonesia
harus halal, kecuali yang ditunjukkan bagi non muslim.
4. Setiap muslim harus belajar dan mendalami lagi hokum-hukum islam.
Dari perdebatan tentang halal
tidaknya MSG Ajinomoto terlihat bahwa masih banyak para ilmuan dan masyarakat
awam yang kurang memahami hokum-hukum Islam, khususnya berkenaan dengan hokum
halal dan haramnya suatu makanan.
5. Diperlukan kerja keras ulama (bekerjasama dengan ilmuan) dalam menuntaskan
status berbagai bahan pangan yang masih diragukan kehalalnnya. Dengan
diharamkannya suatu produk fermentasi yang diperoleh dengan menggunakan media
yang mengandung unsure babi, maka dampaknya akan luas sekali, sehingga perlu
pengkajian ulang berbagai produk fermentasi yang selama ini beredar.[14]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Standar halal berbeda dengan standar
mutu. Mutu ditetapkan oleh produsen atas permintaan konsumen. Sedangkan halal
merupakan ketetapan Allah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Penentuan standarisasi halal untuk
suatu produk makanan ditentukan oleh suatu badan yang bernama LPPOM MUI
(Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia),
yaitu lembaga yang bertugas untuk meneliti, mengkaji, menganalisa dan
memutuskan apakah produk-produk baik pangan dan turunannya, obat-obatan dan
kosmetika apakah aman dikonsumsi baik dari sisi kesehatan dan dari sisi agama
Islam yakni halal atau boleh dan baik untuk dikonsumsi bagi umat Muslim
khususnya di wilayah Indonesia, selain itu memberikan rekomendasi, merumuskan
ketentuan dan bimbingan kepada masyarakat.
Salah satu kasus yang kami angkat
disini adalah kasus PT. Ajinomoto yang tidak memperpanjang jatah sertifiksai
halalnya dan PT tersebut telah menggatikan polypeptone yang biasa diekstrasi
dari daging sapi dengan bactosoytone yang diekstrasi dari daging babi. Sudah
jelas hal tersebut melanggar UU UU no, 8 tahun 1999 tentang pelnggaran
konsumen, UU no. 7 tahun 1996 tentang pangan, UU no. 3 tahun 1992 tentang
kesehatan serta PP no. 69 tahun 1999 tentang label dan Iklan Pangan.
Sehingga diperlukan peraturan yang
tegas, Produsen harus memiliki system jaminan halal dan lebuh berhati-hati,
Konsumen harus lebih kritis, Setiap muslim harus belajar dan mendalami lagi
hokum-hukum islam, dan Diperlukan kerja keras ulama (bekerjasama dengan ilmuan)
dalam menuntaskan status berbagai bahan pangan yang masih diragukan
kehalalnnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Hadist
Apriyantono, Anton. 2003. Panduan Belanja dan Konsusi Halal.
Jakarta: Khairul Bayaan
Candra, Diana. 2007. Rahasia di Balik Makanan Haram. Malang:
UIN Malang Press
www.halalguide.info
Djakfar muhammad, Hukum
Bisnis, (UIN Malang Press, 2009)
file:///K:/halal%20haram/Standarisasi%20Halal%20%C2%AB%20Din07130062%27s%20Blog.htm.
Djakfar muhammad,.S.H.,M.Ag,, Hukum
Bisnis, (UIN Malang Press, 2009)
Yusuf Muhammad, Halal dan
Haram dalam islam.., (PT Binailmu,1980)
Djakfar muhammad,.Agama, Etika,
dan ekonomi wacana menuju pengembangan ekonomi rabbaniyah,(malang:
UIN-Press, 2007)
Qardhawi Yusuf , Halal dan
Haram,(jakarta rabbani press 2000)
[5] H. Muhammad Djakfar, Agama,
Etika, dan ekonomi wacana menuju pengembangan ekonomi rabbaniyah, (malang:
UIN-Press, 2007), 148-149
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan Berkomentar dengan baik dan sopan ^_^